Artikel ini ditulis oleh:
Ka'ab bin Malik menceritakan halnya:
“Aku sama sekali tidak pernah terlepas mengikuti semua peperangan bersama RasuluLLAH, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah kerana kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi ALLAH, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah RasuLLAH SAW merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, berlaku dalam keadaan panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan kuat.
RasuluLLAH SAW mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul fikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku boleh sahaja (tidak ikut) kalau aku mahu!”
Akhirnya, aku terbawa oleh fikiranku yang ragu-ragu, hingga pasukan kaum Muslimin mulai meninggalkan Madinah.Apabila aku melihat pasukan Muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul fikiranku untuk mengejar mereka, sementara mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Nampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut. Akan tetapi, aku merasakan pjiwaku menderita sejak RasuluLLAH SAW meninggalkan Madinah. Apabila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan terpencilnya diriku kerana aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragui keislamannya. Mereka adalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau izin ALLAH Ta’ala kerana uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.
Kononnya, RasuluLLAH tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika baginda sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya RasuluLLAH, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi ALLAH, Ya RasuluLLAH, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!” RasuluLLAH SAW hanya diam sahaja.
Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar RasuLLAH SAW kembali dari medan jihad Tabuk. Pelbagai bisikan, desakan dan dorongan yang menyeru aku untuk membawa alasan palsu ke hadapan RasuluLLAH SAW, bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berfikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi SAW tiba di Madinah, lenyaplah semua fikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad untuk menemui RasuluLLAH SAW dan mengatakan hal sebenarnya.
Pagi-pagi lagi, RasuluLLAH SAW memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, sesudah baginda kembali dari suatu perjalanan, pertama sekali baginda masuk ke masjid dan bersolat dua rakaat. Demikian pula kepulangan dari Tabuk,setelah selesai solat baginda kemudian duduk melayani tetamunya. Lantas, datanglah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diiringi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira lapan puluhan orang. RasuluLLAH SAW menerima alasan lahir mereka; dan mereka memperbaharui baiat setia mereka. Baginda memohon keampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada ALLAH. Kemudian tibalah pula giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada baginda. Baginda membalas dengan senyuman pula. Namun jelas terlihat bahawa senyuman baginda itu adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian berkata, “Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab, “Ya RasuluLLAH! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi ALLAH. Aku sedar kalau aku berbohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan palsuku, aku khuatir ALLAH akan membenciku. Akan tetapi jika aku bbericara jujur, kemudian kerana itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap ALLAH akan mengampuni kealpaanku. Ya RasuluLLAH, demi ALLAH, aku tidak punya uzur. Demi ALLAH, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku mengikutimu itu!”
RasuluLLAH berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kamu sehingga ALLAH menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi ALLAH. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kamu nampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu akanh terhapus oleh permohonan ampun RasuluLLAH!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap RasuluLLAH untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawapannya sama denganmu. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari RasuluLLAH sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutn dua nama sahabat yang pernah ikut serta dalam perang Badar. Sebaik sahaja mereka menyebut nama dua sahabat tadi, aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu, aku mendengar RasuluLLAH melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara lapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami memencilkan diri daripada masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kepada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rakanku itu berkurung di rumah masing-masing menangisi nasib diri, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk solat berjamaah dan keluar masuk pasar sekalipun tiada seorang pun yang mahu berbicara denganku atau mendengar bicaraku. Aku juga datang ke majilis RasuluLLAH sesudah baginda bersolat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, dan hati kecilku tertanya-tanya sambil memperhatikan bibir baginda, “Apakah baginda menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga bersolat dekat sekali dengan baginda. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku mahu bangun bersolat, RasuluLLAH melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, RasuluLLAH cepat-cepat memaling wajahnya dariku. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu paga Abu Qatadah, saudara bisanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi ALLAH, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama ALLAH, apakah kau tahu bahawa aku mencintai ALLAH dan Rasul-Nya?”
Dia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “ALLAH dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan barang dagangan ke kota Madinah. Dia bertanya, “Siapakah yang mahu menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahawa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. ALLAH tidak menjadikan kau hidup terhina. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kami akan menghiburkan mu dan memberi kekayaan kepada mu!” [Nota: Raja Ghassan adalah antara raja-raja yang dikirimi surat oleh RasuluLLAH. Raja Ghassan menolak surat nabi dengan kasar. Utusan yang dikirim Nabi dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan.]
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 pemulauan di kampung halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang utusan RasuluLLAH menyampaikan pesannya, “RasuluLLAH memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi isterimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada ALLAH, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan ku lakukan?”
Dia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Fikirku Rasulullah juga sudah mengirimkan pesanannya kepada dua sahabat yang senasib denganku. Aku segera memerintahkan kepada isteriku, “Pergilah kamu kepada keluargamu sehingga ALLAH memutuskan hukumannya kepada kita!”
Isteri Hilal bin Umaiyah pergi menghadap RasuluLLAH lalu dia bertanya, “Ya RasuluLLAH, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
RasuluLLAH menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Isteri Hilal menjelaskan, “Ya RasuluLLAH! Dia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi ALLAH, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang ahli keluargaku yang juga mencadangkan, “Cubalah minta izin kepada RasuluLLAH supaya isterimu melayani dirimu seperti isteri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada RasuluLLAH tentang isteriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang solat subuh di suatu pagi, ketika aku sedang dudung berzikir minta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku. "Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Sebaik sahaja mendengar berita itu aku, aku terus sujud memanjatkan syukur kepada ALLAH. Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, ALLAH telah menurunkan keampunan-Nya dan menerima taubatku.
RasuluLLAH menyampaikan berita itu kepada sahabat-sahabatnya setelah selesais soat subuh bahwa ALLAH telah mengampuni aku dan dua orang sahabatku. Berlumba-lumbalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita gembira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua -dua pakaian yang aku miliki. Demi ALLAH, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap RasuluLLAH. Ternyata aku telah disambut orang ramai dan dengan serta-merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi ALLAH, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada RasuluLLAH, mukanya tampak cerah dan gembira, kemudian baginda berkata, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari ALLAH ataukah dari engkau ya RasuluLLAH?” tanyaku dengan penuh sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari ALLAH!” jawab RasuluLLAH.
Demi ALLAH, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat ALLAH kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada RasuluLLAH.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya (a-taubah :118) itu dengan penuh teraru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)
Pas politikkan hukum hudud - Utusan
... Sementara itu, Pengerusi Jawatankuasa Undang-Undang Kelab Penyokong Kerajaan Barisan Nasional (BNBBC), Razali Ibrahim berkata, kenyataan terbaru Husam itu sebenarnya membenarkan dakwaan selama ini bahawa Pas menggunakan agama untuk tujuan politik.
Beliau yang juga Ketua Pemuda UMNO Johor berkata, ini dapat dilihat bagaimana masa pilihan raya umum lalu, isu hudud tidak kedengaran, tetapi untuk Kuala Terengganu ia dibuka semula kerana mereka tahu orang Islam amat sensitif dengan soal agama.
''Jadi, ini bukan cara berpolitik yang bertanggungjawab. Sebab itu, saya amat dukacita dengan cara ini yang menggunakan agama sebagai alat bagi mencapai kemenangan.
''Dari dulu lagi orang bercakap pasal ini, tetapi sekarang nampak lebih jelas kerana tiba-tiba sahaja ia dibangkitkan, tetapi lepas berakhir pilihan raya kecil ini, saya yakin hudud akan kembali senyap,'' jelasnya. Baca lagi...
"Janganlah kamu takut dan gentar, kerana aku juga adalah makhluk ALLAH seperti kamu"
Mau komen/teguran membina, sila email: the_mhakk@yahoo.com